Vrydag 22 Maart 2013

Lentera Jiwa

KETIKA seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang. Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan bahwa wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen. Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya dia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia menjadi lebih tua daripada usianya. Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim, dan Niniek L. Karim, dosen Fakultas Psikologi UI, untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami, bagaimana meniti karir dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya bertanya kepada Niniek, apakah sosok seperti dia lazim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karir seperti itu?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang beberapa kali meraih Piala Citra lewat layar lebar tersebut justru bertanya balik kepada saya. Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa? Selain mengajar, Niniek dikenal sebagai selebriti dan dulu sering muncul di layar lebar. Kalau sekarang Anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah hal biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Niniek bercerita panjang lebar bagaimana dirinya dianggap aneh oleh komunitasnya. Bahkan, yang lain bercerita bahwa mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi, Niniek kemudian mengatakan, "Tetapi, saya bahagia, Mas. Saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya. Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya." Maka, layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan kemauan hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal. Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar. Bagi saya, semua itu hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa. Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau sudah comfortable life (mempertahankan kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka, sampai di usia 30-40-an tahun, seorang yang sedang meniti karir perlu bertanya kepada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin di mana dia berada. The caged life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive?" Dan fokusnya hanya "aman atau tersakiti".

The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil?" Dan fokusnya penerimaan. Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "Apakah saya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan potensi diri saya? Apakah saya telah menjalankan hidup yang inspiratif dan menginspirasi orang lain?"

Bagi saya, maaf, percuma saja meneriakkan kejujuran dan etika bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara. Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang dia inginkan. Dia menyimpan banyak pertanyaan yang sulit dijawabnya sendiri. Sementara bagi pemantik lentera jiwa, kredo yang dianutnya adalah "ask not what you are getting from the world, but rather what you are giving to the world".

Orang yang karirnya dijalani dalam the caged life berpotensi menjadi komplainer dan tidak bahagia melihat orang lain bahagia. Mereka justru berbahaya bila menjalani karir sebagai auditor, wartawan investigator, penulis, penegak hukum, atau bahkan ditempatkan ke dalam dewan etika sebuah lembaga.

Maka, mereka tak pernah merasa letih karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru. Itu berbeda dengan the comfortabe life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan. Bagi pemantik lentera jiwa, life is magical and meaningful. Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman. Mereka hanya peduli "apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful".Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing...

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan 
- Jawa Pos, 12 Maret 2013 

Lentera Jiwa (1)

Di STM (sekarang namanya SMK) 6 Kramat Raya tahun 1970-an akhir ada seorang siswa yang senangnya membuat puisi dan karikatur. Meski lulus sebagai juara kelas dan dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke IKIP Negeri Padang, ia justru memilih kuliah di sekolah jurnalistik. Kalau ia mengambil opsi pertama, ia tentu sudah menjadi guru STM. Tetapi meski tak punya biaya untuk bayar kuliah sendiri, hatinya berkata lain.

Setelah lulus, ia magang di sebuah majalah berita dan dilatih melakukan investigasi berita dengan prinsip “tak ada tokoh yang tak punya kesalahan”. Dengan bekal itu, setelah bertahun-tahun menjadi reporter, di sebuah stasiun TV, pada awal reformasi ia menjadi host talkshow politik yang sarat konflik. Tokoh-tokoh yang berseberangan ia pojokkan sehingga tak berkutik dan saling menyalahkan. Tontonannya sangat menarik, ratingnya tinggi. Tetapi setelah beberapa tahun menjalankan peran itu ia bertanya: “apakah ini yang saya cari dalam hidup saya?". Ia merasa ada yang salah telah ikut menaburkan kebencian dan permusuhan.

Berawal dari pertanyaan itulah ia berhenti dari seluruh kegiatannya dari talkshow politik dan mengundang orang-orang biasa, pejuang perubahan sosial yang inspiratif. Anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Ya, itulah Andy Noya dengan Kick Andy show-nya. Sewaktu saya gali untuk program TV yang saya asuh di TVRI, Ia mengatakan “Saya seperti tengah bercermin. Saat tamu-tamu itu bercerita, saya seperti melihat diri saya sendiri di sana”.

Chef Seno
Apa yang dilakukan Andy agak mirip dengan sahabat saya di UI yang suskses menjadi direktur keuangan di sebuah bank. Sebagai akuntan senior ia punya semuanya: Keluarga yang harmonis, rumah yang besar, anak-anak yang sehat dan karir yang bagus. Tetapi setelah krisis moneter berlalu dan ia selamat, Ia justru meminta pensiun dini dan lama menghilang.

Akhirnya tahun lalu secara tak sengaja kami bertemu di sebuah lorong pertokoan di depan sebuah restoran Jepang di kawasan Takapuna, dekat Auckland, New Zealand. Delapan tahun yang lalu ia berimigrasi kesini dan memulai profesi baru. Ia mengambil kursus memasak selama 2 tahun, membeli alat-alat, dan memulai kariernya sebagai tukang masak dari restoran-restoran kecil. Sekarang Chef Seno sudah menjadi koki di sebuah hotel terkenal dan menemukan lentera jiwanya.

Saat kami diundang makan malam Saya melihat ia begitu piawai memotong dan menyajikan hidangan. Karakter masa lalunya sebagai akuntan yang kritis mulai tak kelihatan. Memasak adalah kecintaannya sejak kecil, namun sepertinya tak begitu macho bila dijalankan oleh pria, apalagi bila anda mengatakan itu adalah cita-citanya di tahun 70-80an. Ini mirip dengan Harland Sanders yang sudah gemar menggoreng ayam sejak usia kecil, namun setelah mendapat julukan kolonel, di usia 40-an Ia baru menggoreng ayam dan usahanya baru meledak saat usianya 60-an dengan nama KFC. Chef Seno dan Harland Sanders bukan memasak seperti ibu-ibu yang dipaksa nilai-nilai masyarakat berada di dapur: buku resep, kumpulkan bahan-bahan lalu masak. Mereka bisa memasak tanpa resep, mengikuti naluri dari bahan-bahan yang ada di dapur.

Sekolah STM bagi Andy Noya, menjadi akuntan bagi Chef Seno, atau menjadi tentara bagi Harland Sanders bukanlah lentera jiwa mereka. Brandon Burchard menyebut fase itu sebagai “The Cage” (kurungan jiwa). Di seluruh dunia, hampir semua kaum muda kesulitan menyalakan lentera jiwanya dan hidup terkurung menjalankan kehendak orang lain.

Saya juga melihat di usia dewasa, ribuan orang yang berkarir ternyata juga terperangkap dalam hidup yang sama. Bahkan ada yang masuk ke fase ke dua: The Comfortable life seperti yang dirasakan Chef Seno saat menjadi direktur keuangan, atau Andy Noya saat menjadi pemimpin redaksi dan Wakil Pemimpin Umum di Media Indonesia dan Metro TV. Mereka beruntung mempertanyakannya: Inikah yang saya cari?

Hidup dalam The Cage membuat manusia patuh dan menjalankan sesuatu atas ekspektasi dan kehendak orang lain sehingga sulit sekali mencapai prestasi tertinggi karena selalu terjadi pertentangan jiwa. The Caged life hidup dalam kotak “belief” yang sempit yang banyak membatasi hidupnya. Ia membangun hidup dari sesuatu yang didiktekan orang lain, dan tak pernah berani keluar dari garis-garis maya yang membatasinya, untuk mengeksplorasi dunia baru. The Caged life sangat takut bertentangan dengan aturan yang dibuat masternya, meski itu hanya ada dalam pikirannya. Sebegitu dalamnya peran “sang master” sehingga bila dilanggar, merasa “sangat berdosa”.

Lantas bagaimana keluar dari ke 2 fenomena itu? Tentu saja diperlukan upaya massif, sebuah revolusi kehidupan seperti kembali ke titik nol dengan meghidupkan lentera yang oksigennya mungkin sudah ada. Saya akan melanjutkan minggu depan, tetapi anda bisa menyaksikan pergulatan-pergulatan itu setiap Selasa malam di TVRI dengan tamu saya Andy Noya atau tamu-tamu inspiratif lainnya. Kalau kita bisa menghidupkan lentera jiwa kita masing-masing, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan saya percaya, iri, dengki, saling menghujat akan jauh berkurang. Artinya Persatuan Indonesia akan lebih ideal kita rasakan.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking